Undone

“Rasanya ada yang beda.” Kalimat tersebut pernah saya jadikan sebagai judul untuk beberapa tulisan. Yup, benar! Jika anda berpikir bahwa beberapa tulisan yang saya maksud diberi judul yang sama. Memang demikian adanya. Saya hanya memberikan angka di belakang kalimat tersebut sebagai pembeda antara tulisan yang satu dengan tulisan lainnya. Seperti sebuah tulisan berseri.

Kekonyolan. Saya menganggap apa yang diceritakan di dalam tulisan berseri dengan judul “Rasanya ada yang beda” adalah sebuah kekonyolan. Kekonyolan diri saya dalam beberapa kejadian. Kadang, saya juga tertawa ketika mengingat-ingat kembali. Anda yang membacanya pun mungkin akan melakukan yang sama. Menertawakan kekonyolan yang saya lakukan tanpa sengaja dan tanpa sadar.

Kekonyolan tersebut misalnya, ketika saya bermaksud membeli body wash alias sabun mandi, ternyata saya memilih hand soap lantaran warna kemasannya mirip dan sedang ada diskon, ketika saya menonton film di komputer dengan menggunakan headset tetapi saya lupa mencolokkan headset tersebut ke CPU komputer, ketika saya salah menghitung jumlah barang yang dibeli sehingga sebagiannya harus dikembalikan saat penghitungan di kasir, atau ketika saya salah menaiki sepeda motor saat di parkiran.

Penasaran? Jika penasaran, silahkan klik link-link Seri Rasanya Ada Yang Beda  yang ada pada bagian bawah postingan ini.

Suatu hari, saya memposting ulang tulisan-tulisan di atas ke dalam sebuah forum diskusi internal kantor saya. Tak diduga tak disangka, anggota forum banyak yang mengomentari trit tersebut. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga menceritakan pengalaman konyol yang ternyata melebihi apa yang saya alami.  Selama beberapa hari trit tersebut dihidupkan dengan berbagai pengalaman konyol yang mengundang tawa siapa pun yang membacanya. Misalnya pengalaman anggota forum yang merasa beda ketika dirinya mengendarai sepeda motor yang ternyata istrinya belum naik alias tertinggal. Ada juga cerita di mana seorang anggota forum merasakan kuah mie ayam yang berbeda yang ternyata dirinya bukan menuangkan kuah mie ayam melainkan teh manis.

Hingga kemudian tercetus sebuah ide dalam pikiran saya untuk mengumpulkan semua cerita konyol tersebut ke dalam sebuah buku. Sebuah buku antologi kekonyolan. Sebuah judul juga sudah terlintas. Mie Ayam Kuah Teh Manis, begitu judulnya. Judul yang diambil dari salah satu cerita pengalaman dari anggota forum diskusi.

Otak saya sudah mengkalkulasikan berapa biaya produksi dan berapa harga jual buku. Kepada para kontributor yang nantinya akan membeli buku tersebut akan diberikan diskon sebesar dua puluh persen dari harga jual buku. Selisih harga jual dengan harga setelah diskon, masih di atas biaya produksi. Dengan hitung-hitungan seperti itu, maka siapa pun pembelinya, saya tetap mendapat keuntungan. Sebuah ide yang bagus menurut saya dan perlu direalisasikan.

Sebelum saya melempar rencana tersebut secara rinci kepada anggota forum, saya membaca sebuah pengumuman sayembara menulis buku antologi dengan tema tertentu. Sekian banyak naskah yang terpilih akan dibukukan. Para kontributor akan mendapat potongan harga dua puluh persen. Intinya, pengumuman itu sama persis dengan apa yang saya rencanakan.

Saya jadi berpikir ketika akan mengikuti sayembara tersebut. Seandainya naskah saya termasuk naskah yang dibukukan, maka saya hanya mendapatkan potongan dua puluh persen. Itu saja. Kecuali saya ikut menjual buku tersebut, maka akan ada keuntungan sebesar selisih antara harga jual sebenarnya dengan harga diskon. Sementara panitia atau pihak penyelenggara akan mendapatkan keuntungan dari setiap penjualan buku. Siapa pun pembelinya.

Ini tidak adil! Begitu pikir saya.

Kenapa? Sebab nantinya, keuntungan yang diperoleh setiap penulis yang menjadi kontributor tidak sama. Besar-kecilnya keuntungan yang didapat oleh setiap kontributor tergantung kepada banyak-sedikitnya buku yang dapat mereka jual. Padahal masing-masing kontributor sama-sama sudah menyumbangkan sebuah naskah di dalam buku tersebut.

Mungkin akan berbeda jika royaltinya bukan berupa potongan harga buku yabg dibeli. Melainkan berupa persentasi dari harga jual buku yang kemudian dibagi rata kepada semua kontributor. Memang, jumlahnya akan lebih sedikit, tetapi akan terus-menerus diperoleh setiap kontributor selama buku itu diperjualbelikan. Atau mungkin ditambah dengan potongan harga sekian persen kepada penulis selain royalti jika bisa membantu menjual buku tersebut.

Setelah berpikir demikian, maka rencana semula untuk membuat sebuah buku antologi, saya batalkan. Mungkin lain waktu, dengan perencanaan yang lebih matang. Tentunya dengan sistem pembagian keuntungan yang lebih adil.


Seri Rasanya Ada Yang Beda  :

[Rasanya Ada Yang Beda #1] : Hand Soap and Headset
[Rasanya Ada Yang Beda #1] : Hand Soap and Headset
[Rasanya Ada Yang Beda #2] : Motor Siapa Ini?
[Rasanya Ada Yang Beda #2] : Motor Siapa Ini?
[Rasanya Ada Yang Beda #3] : Bengkuang dan Biji Mangga Muda
[Rasanya Ada Yang Beda #3] : Bengkuang dan Biji Mangga Muda
[Rasanya Ada Yang Beda #4] : Salah Hitung
[Rasanya Ada Yang Beda #4] : Salah Hitung
[Rasanya Ada Yang Beda #5] : Salah Duga
[Rasanya Ada Yang Beda #5] : Salah Duga