Musa berkata kepada lelaki yang baru saja memperbaiki dinding sebuah rumah yang hampir roboh, “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.
Ternyata, kalimat tersebut menjadi pembatas kebersamaan keduanya setelah melakukan perjalanan bersama-sama.
Sebelum benar-benar berpisah, lelaki itu menjelaskan kepada Musa kenapa dirinya memperbaiki dinding rumah yang hampir roboh itu tanpa meminta upah.
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
*****
Ingatan lelaki yang mendengar kisah tersebut langsung tertuju kepada sang anak yang tak lagi bersamanya. Keduanya tidak bisa selalu bersama-sama dan bertemu. Ada jarak, ada waktu, dan ada kondisi yang menyebabkan perpisahan di antara keduanya. Perpisahan yang menyebabkan si lelaki tidak bisa selalu mengawasi dan menjaga lelaki kecilnya.
Namun, setelah mendengar kisah yang baru saja disampaikan oleh seorang ustadz selepas zhuhur tadi, lelaki itu memiliki harapan bahwa dirinya masih bisa mengawasi dan menjaga lelaki kecilnya, atau lebih tepatnya meminta pengawasan dan penjagaan yang lebih hebat daripada dirinya yang lemah. Memperbaiki diri menjadi pribadi yang sholeh, itulah yang harus dilakukan lelaki itu. Dengan kesholehan diri, amal ibadah, serta kasih sayang dari Allah, dirinya bisa berdoa memohon penjagaan atas lelaki kecilnya. Bahkan ketika dirinya telah berpindah dunia.
Tulisan Terkait Lainnya :