Senja di Meulaboh

matahari terbenam  di meulaboh
matahari terbenam di meulaboh

Pantai. Sepertinya saya lebih sering mendatangi tempat berupa pantai dibandingkan tempat lainnya semisal pegunungan, lembah, goa, dan sebagainya. Dari sekian kota yang pernah saya datangi, meskipun belum bisa dikatakan banyak, sebagian besarnya berada di dekat pantai. Sebut saja Lhoksemawe, Meulaboh, Banda Aceh, Padang, Makassar, dan Pangakalanbun.

Apa yang bisa dinikmati di pantai? Saya bisa merasakan pasir pantai yang begitu lembut terasa di telapak kaki kala menginjaknya. Saya bisa merasakan sapaan ombak yang menyapa kedua kaki ini yang sedang berdiri di bibir pantai. Saya bisa merasakan desiran angin yang bertiup menemani kala saya duduk-duduk santai sambil menikmati kelapa muda yang begitu segar. Saya juga bisa melihat perubahan langit di kala senja yang mengiringi terbenamnya matahari.

Senja di Meulaboh menjadi momen yang tidak terlupakan, meskipun di beberapa tempat lainnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kesempatan kepada saya untuk melihat kesempurnaan ciptaan-Nya juga.  Senja di Meulaboh adalah momen di mana saya bisa melihat pemandangan yang sungguh luar biasa. Saya menyaksikan matahari terbenam yang paling indah dibandingkan di beberapa tempat lainnya.

Meulaboh terletak sekitar 245 kilo meter tenggara Kota Banda Aceh. Meulaboh merupakan kota terbesar di pesisir barat-selatan Aceh dan salah satu area terparah akibat bencana tsunami yang dipicu oleh gempa bumi Samudra Hindia 2004. Meulaboh adalah kota kelahiran Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan. Di bulan Oktober 2012, saya menginjakkan kaki saya di Meulaboh dalam rangka tugas selama beberapa hari.

5 Oktober 2012, sekitar pukul tujuh belas sore. Jam kantor sudah usai. Pekerjaan hari itu dianggap selesai. Saya dan tiga orang rekan keluar kantor. Bukan untuk langsung kembali ke tempat menginap. Kami akan memanfaatkan waktu sekitar dua jam sebelum Maghrib Maghrib menjelang. Waktu Maghrib di Meulaboh sekitar pukul sembilan belas kurang sekian menit. Satu jam lebih lambat daripada waktu Jakarta.

Pantai. Itulah tempat yang kami tuju. Lokasinya tak jauh dari kantor tempat kami bertugas selama beberapa hari yang beralamat di Jl. Imam Bonjol No. 56. Sekitar sepuluh menit, kami sudah tiba di pantai yang kami maksud. Sayangnya, hingga hari ini, saya belum tahu nama pantai yang kami datangi saat itu. Sebuah pantai di Meulaboh yang di salah satu bagiannya terdapat sebuah dermaga.

Bagian pantai yang kami datangi, nyaris tak berpasir. Sepertinya kami tidak mendapati lokasi terbaik dari pantai tersebut di senja itu. Yang ada di hadapan kami adalah bibir pantai dengan batu-batu kerikil yang melapisinya. Ada pula sisa-sisa bangunan yang sudah hancur. Dua hari berikutnya kami kembali ke pantai tersebut di sisi lain yang berpasir dan terdapat banyak pohon kelapa.

Senja itu, di salah satu sisi pantai di Meulaboh, saya juga mendapati beberapa batang kayu dari pohon besar yang sudah mati. Ada pula sebatang pohon cemara yang tegak berdiri dengan gagah. Pohon  cemara yang hanya menyisakan sedikit daun di ujung-ujung dahannya itu ditopang dengan akar yang sudah menancap ke bumi dan menjalar ke segala arah. Di salah satu akar pohon yang cukup besar, dua orang pemudi sedang duduk asyik sambil menikmati suasana senja.

Mendapati kondisi tersebut, tak ada keinginan kami untuk pindah lokasi. Kami berdiam dan menikmati suasana tersebut sambil menunggu waktu. Menunggu sang matahari yang akan terbenam beberapa saat lagi.

Senja itu, langit Meulaboh begitu cerah. Hanya ada beberapa kumpulan awan tipis yang menjadi penghiasnya.  Tak ada yang menghalangi pandangan mata saya yang sedang menyaksikan pergerakan matahari yang mulai turun perlahan di bagian langit sebelah barat.

Warna langit di atas kami masih biru. Sementara di bagian langit ‘bertemu’ dengan laut lepas, warnanya mulai berubah. Manjadi jingga. Bersamaan dengan matahari yang mulai bergerak turun seperti ingin bersembunyi di balik lautan luas.

Mata saya tetap tertuju ke arah matahari, baik secara langsung maupun melalui lensa kamera yang ada di handphone atau kamera saku  milik teman saya. Beberapa kali saya mengabadikan momen terbenamnya matahari tersebut dalam jepretan kamera.

siluet saat senja di meulaboh
siluet saat senja di meulaboh

Siluet pohon kering tanpa dedaunan dengan latar belakang matahari terbenam sempat saya abadikan. Tak lupa pula saya juga meminta bantuan teman saya untuk mengabadikan siluet saya yang berdiri di samping pohon tersebut.

Matahari di senja itu terus bergerak hingga ‘bersentuhan’ dengan laut. Beberapa saat kemudian, laut pun ‘menelannya’.

matahari terbenam  di meulaboh
matahari terbenam di meulaboh

Bagi saya, momen senja itu begitu luar biasa. Tempat itu, Meulaboh terus terkenang. Bahkan, salah satu foto yang diambil untuk mengabadikan momen di Meulaboh tersebut, menginspirasi saya untuk menerbitkan buku kumpulan cerita tentang lelaki. “Lalaki dan …” adalah judul buku tersebut. Buku yang terbit di bulan Oktober 2012 karena saya mendapatkan foto yang saya anggap cocok untuk dijadikan sampulnya. Foto yang mungkin saya beri judul : Senja di Meulaboh.

cover lelaki dan ... [depan]
cover lelaki dan … [depan]

*****

“A Place to Remember Giveaway”


Tulisan Terkait Lainnya :