Roni sudah duduk di hadapanku. Wajahnya yang tegang beberapa menit yang lalu, mulai terlihat agak tenang. Mungkin bayang-bayang ketakutan tentang apa yang akan terjadi beberapa saat lagi yang muncul di dalam pikirannya mulai berkurang seiring kedua matanya yang kututup dengan sehelai sapu tangan.
“Sudah bisa dimulai?” Tanyaku kepada Roni.
“Iya. Bisa.” Jawab Roni dengan suara sedikit gemetar. “Tapi jangan sampai ada sehelai rambut pun yang mengenai wajah dan kulit gue!” Sambungnya dengan sebuah permintaan.
“Beres. Tenang aja!” Kucoba untuk menenangkan dirinya. “Yang penting lo nggak lupa kalau kali ini ada bonus semangkok bakso seperti janji lo tadi!”
“Soal itu beres, Bro!” Roni mengacungkan jempol kanannya.
Aku pun mulai beraksi, menggunting dan merapikan rambut Roni yang sudah panjang sebahu.
Sebenarnya, aku bukanlah seorang tukang cukur. Tetapi beberapa teman sering datang ke rumah dan memintaku menggunting atau merapikan rambut mereka.
Mungkin karena merasa puas dengan hasil cukuranku, mereka datang lagi dan lagi. Tentu saja aku dengan senang hati menggunting dan merapikan rambut mereka,termasuk Roni. Jasaku dihargai. Ada bayaran yang kuterima, bahkan melebihi bayaran yang mereka keluarkan jika menggunakan jasa tukang cukur rambut di pangkas rambut di ujung jalan sana.
*****
Dua mangkok bakso sudah tersaji di hadapanku. Mungkin ini waktu yang tepat untuk ngerjain si Roni yang sedang asyik ngobrol dengan salah seorang pelanggan bakso yang juga adalah temannya. Niat untuk ngerjain Roni sebenarnya sudah muncul ketika aku menggunting rambutnya di rumah tadi.
Sudah terbayang di dalam benakku tentang apa yang akan terjadi dengan semangkok bakso milik Roni nantinya. Roni pasti akan segera membuang mangkok bakso tersebut ketika melihat rambut di dalamnya. Aku masih ingat kejadian yang serupa ketika Roni melempar buku atau membuka dan membuang kaos yang dikenakannya ketika melihat ada sehelai rambut yang menempel di buku dan kaosnya. Roni memang sedikit istimewa. Dirinya menderita trichophobia, takut terhadap rambut rontok.
Segera kumasukkan beberapa helai rambut Roni yang kusimpan di dalam saku kemejaku ke mangkok bakso dan mengaduknya agar tersembunyi di antara bihun, mi, dan beberapa butir bakso.
Beres!
Roni datang dan langsung duduk di hadapanku, menuangkan saos sambal ke dalam mangkok baksonya dan kemudian mengaduknya. Aku hanya memperhatikan Roni melakukan semua itu sambil menunggu waktu rambut di dalam mangkok bakso itu terlihat olehnya.
Detik-detik yang kunantikan itu pun tiba. Kedua mata Roni melotot. Wajahnya terlihat ketakutan. Aku sudah bersiap-siap menghindar bila tangannya langsung melempar mangkok bakso di hadapannya.
Kulihat Roni memejamkan kedua matanya agar tak melihat beberapa helai rambut di mangkok baksonya. Sementara tangan kanannya mengambil sesuatu dari saku celananya. Sehelai sapu tangan.
Dengan cepat, kedua tangannya mengikatkan sehelai sapu tangan tersebut di kepalanya, menutupi kedua matanya. Lalu sambil meraba-raba, diraihnya mangkok bakso dan sendok di hadapannya. Lalu mulai menyantap bakso tersebut.
“Ron, kok lo nggak lempar itu mangkok bakso seperti lo lempar buku dan baju beberapa waktu yang lalu? Padahal ada rambut di situ!” Tanyaku heran.
“Sayang! Mubazir!”
*****
Jumlah Kata : 469. Untuk memeriahkan MFF Prompt #40 : Phobia
Baca Juga Prompt Sebelumnya :