Zul, di mataku, kau adalah lelaki dan suami yang romantis. Meski dahulu di saat memperkenalkan diri melalui sepucuk surat, kau menyatakan dirimu sebagai sosok lelaki yang tak romantis, tidak demikian menurutku. Aku mulai berpikir, jangan-jangan kau menyebut dirimu demikian agar diriku tak menuntutmu untuk menjadi suami yang romantis. Mungkin itu caramu agar diriku tidak mengharapkan sesuatu yang lebih dari dirimu. Menurutku, tak ada yang salah dengan hal itu.
Zul, kau pernah merangkai kata-kata puitis dalam beberapa bait puisi. Itu romantismu dalam kata-kata. Kau sering mengatakan “aku sayang kamu” atau “I love you” kepadaku. Itu juga romantismu dalam kata-kata. Kau sering mencium dan memelukku. Itu romantismu dalam perbuatan.
Begitulah romantismu yang dahulu pernah kurasakan, Zul. Kini seiring perjalanan waktu dan kehadiran buah hati di tengah-tengah kita, romantismu mengalami perubahan.
Ucapan “aku sayang kamu” atau “I love you” kini jarang terlontar dari mulutmu. Atau jangan-jangan aku yang tak mendengar saat kau mengucapkannya, sebab indra pendengaranku tak bekerja maksimal di saat aku terlelap karena lelahku setelah seharian bersama buah hati kita. Aku juga tak merasakan manisnya kecupanmu dan hangatnya pelukanmu seperti dahulu. Atau jangan-jangan indra perasaku melewatkan momen-momen itu bersamaan dengan terpejamnya kedua mataku.
Zul, aku yakin, kau masih romantis. Mungkin romantismu tak sama seperti yang dahulu. Ada perubahan. Tak mengapa. Bagiku itu bukan masalah. Aku memakluminya. Lagi pula, yang terpenting bagiku adalah kau tetap melakukan sesuatu yang romantis.
Di saat mataku hampir terpejam karena rasa kantuk yang menyerang, kau segera mengambil buah hati kita dari gendonganku untuk kemudian menimang-nimangnya. Sementara diriku kau minta untuk segera tidur. Itu romantis, Zul.
Di saat aku sedang menyusui, kau menuangkan air minun ke gelasku lalu mendekatkan gelas tersebut dengan tangnmu ke mulutku agar aku bisa meminumnya. Itu sangat romantis, Zul.
Ketika aku sedang menikmati sarapan atau makan malam, lalu kutinggalkan karena buah hati kita menangis kehausan, kau langsung menyuapiku. Iru romantis, Zul.
Ketika di pagi hari, sebelum dirimu berangkat ke kantor, kau membantuku mencuci pakaian kotor buah hati kita, itu juga romantis, Zul.
Kau masih lelaki yang kukenal. Lelaki yang romantis. Meski bukan dengan kata-kata dan perbuatan yang sama. Itu tak masalah bagiku. Aku bisa memakluminya. Yang pasti, aku masih merasakan romantisme dari dirimu, Zul.
Baca Juga Seri Samara Lainnya :