Tiga Orang Anak yang Bersalaman Selepas Shalat

jabat tangan
Saat shalat Maghrib tadi, saya datang agak terlambat. Meski tidak menjadi ma’mum yang masbuq, saya masuk golongan jama’ah di barisan belakang. Imam masih membacakan ayat terakhir surat Al-fatihah. Saya segera mengucapkan takbiratul ihram untuk memulai shalat berjama’ah.

Di hadapan saya, ada empat orang anak yang ikut shalat Maghrib berjamaah. Mereka cukup tertib dalam pelaksanaan shalat. Tak ada gerakan canda atau obrolan di antara mereka. Hingga akhirnya, salam imam terdengar sebagai pertanda shalat Maghrib telah selesai.

Dari keempat anak tersebut, ada satu anak yang pendiam. Karenanya saya tidak memasukkan anak pendiam ini dalam hitungan seperti ketiga temannya yang lain. Seperti judul di atas, hanya tiga anak yang menjadi pusat perhatian saya. Sebut saja mereka Adi, Budi, dan Iwan. Bukan nama sebenarnya dan penamaan sesuai dengan posiai duduk ketiganya.

Selesai shalat, Budi langsung bersalaman kepada Adi. Sebenarnya bukan bersalaman. Lebih tepat jika dikatakan Budi mencium tangan Adi. Memgapa Budi melakukan itu? Sebab Budi merasa lebih muda daripada Adi.

Selanjutnya, Budi meminta Iwan untuk melakukan hal yang sama seperti yang baru saja dia lakukan. Namun Iwan, yang postur tubuhnya sedikit lebih besar daripada kedua temannya tidak langsung mau mencium tangan Adi. Iwan melakukan konfirmasi tentang umur terlebih dahulu kepada Adi.

Setelah menyebutkan umur, tahun kelahiran, dan mungkin juga bulannya, barulah Iwan bersedia mencium tangan Adi karena merasa dirinya lebih kecil atau lebih muda dibanding Adi.

Lalu mereka bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan tempat duduk mereka.

*****

Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun sering saya lihat melakukan hal serupa seperti cerita ketiga anak di atas. Bersalaman selepas melaksanakan shalat berjama’ah. Saya juga pernah melakukannya.

Saya bersalaman selepas shalat hanya jika ada jama’ah lain yang mengajak saya salaman terlebih dahulu. Jika tak ada, maka saya tak akan bersalaman.

Sependek pengetahuan saya, salaman seperti di atas tidak termasuk dalam rangkaian ibadah shalat. Sebab pelaksanaan ibadah shalat akan berakhir ketika salam pertama (ke kanan diucapkan), sesuai dengan definisi shalat, yaitu rangkaian ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.

Mengapa saya tidak mendahului jama’ah lain untuk bersalaman selepas shalat? Sebab saya merasa agak sedikit terganggu ketika saya sedang membaca tasbih, tahmid, dan takbir dengan memanfaatkan ruas-ruas jemari, tiba-tiba ada yang mengajak saya untuk bersalaman, entah datangnya dari jama’ah sebelah kiri, kanan, belakang, atau depan. Atau ketika saya sudah bersalaman, jama’ah sebelah kanan saya mengajak juga jama’ah yang ada di sebelah kiri saya sehingga kedua tangan mereka yang bersalaman berada di hadapan saya.

 

Bersalaman atau berjabat tangan itu memang baik. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (HR. Abu Daud).

Tapi ada besar kemungkinan hanya saya saja yang merasa terganggu ketika diajak bersalaman sesaat setelah selepas shalat, sementara para jama’ah yang sudah terbiasa tidak merasa terganggu dengan kebiasaan tersebut. Ya, mungkin ini masalah kebiasaan. Mungkin. Wallaahu a’lam.

 


Tulisan Terkait Lainnya :