Pagi ini, setelah selesai mengenakan kemeja batik dan celana panjang, saya keluar kamar untuk sarapan. Seperti biasa, televisi di ruang tengah sudah menyala. Ibu saya sedang menyaksikan acara siraman rohani bersama Mamah Dedeh.
Setelah menyiapkan makanan dan minuman untuk sarapan, saya mengambil tempat duduk di depan televisi. Sambil memasukkan suap demi suap nasi, pandangan mata saya tertuju ke arah televisi dan telinga saya menyimak apa yang disampaikan dalam sesi tanya jawab di acara tersebut.
Saya tak mengetahui apa yang menjadi materi yang disampaikan oleh Mamah Dedeh. Sebab ketika saya memulai sarapan, acara sudah berlangsung beberapa lama. Beberapa pertanyaan yang diajukan pemirsa via telepon atau video confrence pun berbeda satu sama lain.
Salah satu pertanyaan dari penelpon yang menarik sekaligus mengingatkan saya pada sebuah pengalaman ketika tinggal di Depok adalah mengenai shalat berjama’ah di masjid. Seorang penelpon memberikan pertanyaan yang kurang lebih seperti berikut, “Saya terbiasa shalat berjama’ah bersama istri di rumah. Sementara ada sebuah masjid yang tidak jauh letaknya dari rumah. Saya tidak shalat di masjid sebab ketika tidak ada orang yang shalat di masjid tersebut, terutama di waktu zhuhur dan ashar. Bagaimana menurut Mamah?”
Mamah Dedeh pun menjawab dengan gaya ceplas-ceplosnya, menirukan kalimat sang penanya. “Saya datang ke masjid untuk shalat berjam’ah. Di masjid nggak ada orang. Lah, saya orang apa bukan?”
Lalu Mamah Dedeh menyampaikan sebuah hadits tentang shalat berjama’ah di masjid bagi kaum laki-laki.
Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.” ( HR. Al-Bukhari no. 141 dan Muslim no. 651)
“Jadi saya harus tetap shalat di masjid?” sang penelpon meminta penjelasan lebih lanjut.
“Iya,” jawab Mamah Dedeh. “Bapak shalat di masjid, bisa jadi nanti ada orang-orang yang melihat Bapak shalat di masjid kemudian ikut juga shalat di masjid. Berjama’ah.”
“Jadi saya meninggalkan istri saya di rumah shalat sendiri?” tanya penelpon selanjutnya.
“Kalau perlu ajak istri Bapak shalat berjama’ah di masjid!” jawab Mamah Dedeh dengan tegas.
Saya sepakat. Perempuan boleh shalat berjama’ah di masjid. Meskipun yang terbaik adalah shalat di rumah. Namun jika ingin mendapatkan pahala berjama’ah sementara di rumah shalat sendiri, maka shalat berjama’ah di masjid bisa menjadi pilihan bagi kaum perempuan. Sebab perempuan dan masjid tidaklah seperti minyak dan air.
Seperti yang saya sudah singgung di atas, bahwa pertanyaan Bapak penelepon itu mengingatkan saya akan kejadian beberapa tahun silam ketika tinggal di Depok. Adalah sebuah masjid yang letaknya di ujung kampung, di ujung jalan buntu.
Ketika mendatangi masjid tersebut dengan harapan bisa melaksanakan shalat berjama’ah, saya mendapatkan masjid tersebut kosong.
Saya bisa memasuki ruang utama masjid, sebab tidak dikunci. Saya cukup memutar sebuah kayu kecil di atas pintu, maka pintu akan terbuka. Jadi siapapun bisa masuk.
Saya menunggu beberapa waktu. Barangkali nanti akan datang jama’ah lain sehingga saya bisa shalat berjama’ah bersamanya. Namun harapan tersebut tidak terwujud. Masjid tetap kosong. Akhirnya, saya shalat sendiri.
Kejadian tersebut saya alami berulang kali seperti yang pernah saya ceritakan dalam postingan yang berjudul “Sendiri Lagi…” Mudah-mudahan, saat ini, masjid tersebut tidak lagi sepi dari jama’ah sehingga shalat berjama’ah di masjid bisa terus dilaksanakan. Aamiin.
Wallaahu a’lam
Tulisan Terkait Lainnya :