“Aku tak bisa mengembalikan wujudnya seperti semula, tapi mungkin aku bisa sedikit menghiburnya. Menemaninya sebentar. Paling tidak, aku bisa menyapanya.” Pikirku sambil melangkah mendekati gunung yang puncaknya masih mengepulkan asap.
“Apa kabar?” Sapaku kepadanya.
“Lumayan lega,” ucapnya dengan didahului sebuah tarikan napas panjang. “Seperti yang kau lihat, aku telah mengeluarkan unek-unek dan kekesalan dalam hatiku.”
Beberapa waktu yang lalu, gunung di hadapanku ini telah memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya, mulai dari asap tebal, debu, pasir, batu, bahkan lumpur panas. Amarahnya menyebabkan seluruh desa yang berada di sekitarnya hancur. Para warga desa kehilangan rumah-rumah mereka. Sebagian dari mereka bahkan harus kehilangn anggota keluarga mereka. Meninggal.
“Mengapa kau melakukannya?” Tanyaku lagi.
“Selama ini aku hanya menjalankan tugas sebagai pasak untuk menjaga bumi agar tidak bergoyang dan bergoncang ketika ia berotasi atau pun berevolusi.” Jawabnya.
Aku diam menyimak.
“Demi perintah itu, aku rela menahan sakit setiap kali tubuhku diinjak, dipahat, atau pun digali. Aku tidak ambil pusing jika ada yang mengotoriku dengan air seni dan kotoran mereka. Aku masih mampu bertahan.” Sambungnya.
“Lalu apa yang membuatmu tidak sanggup lagi bertahan?” Tanyaku penasaran.
“Ketika kulihat ada perbuatan mereka yang telah melanggar fitrah mereka sebagai manusia dan juga fitrahku sebagai makhluk, aku marah. Ketika mereka mengagung-agungkan diriku yang sebenarnya tida lebih baik dari mereka, aku murka. Ketika mereka menyembahku dan bukan menyembah penciptaku dan pencipta mereka, aku tumpahkan apa yang ada di dalam perutku. Agar mereka semua tersadar.” Jawabnya dengan nada sedih.
“Sepertinya aku mengalami hal yang serupa denganmu, hanya saja kadarnya yang berbeda,” aku menimpali.
“Apa maksudmu?” kali ini dirinya yang bertanya.
“Ketika aku disamakan dengan binatang, aku tetap diam. Ketika aku dipaksa untuk meninggalkan prinsip yang selama ini telah kupegang, aku masih bersedia. Tapi, ketika aku dihadapi pilihan, antara cinta manusia dan bau surga, maka aku memilih bau surga dan pergi meninggalkan cinta yang berduri.” Jawabku.
“Lalu, bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanyanya kembali.
“Sama seperti yang kau rasakan. Lumayan lega.” Jawabku.
Lalu kami terdiam bersama tanpa kata-kata, hanya menikmati suasana yang ada.
—ooo0ooo—
Setelah belasan kali purnama berganti. Aku datang kembali untuk menyapa dirinya yang masih tegak berdiri, meski ada beberapa bagian dari dirinya yang tak sama seperti yang dahulu.
“Apa kabarmu kawan?” Sapaku kepadanya.
Kupandangi apa yang ada di sekeliling tempatku dan kawanku berdiri.
“Banyak perubahan di sini,” ucapku.
“Ya. Karena perubahan itu, maka sudah selayaknya aku memiliki rasa syukur!”
“Bersyukur? Maksudmu?” Tanyaku heran.
“Ya. Aku harus bersyukur bahwa amarahku tidak menyebabkan diriku hancur-lebur. Hanya sebagian tubuhku yang hilang, karenanya kau masih bisa melihatku tegak berdiri, meski dengan kondisi fisik yang tidak lagi sempurna. Tak bisa kubayangkan jika seluruh tubuhku hancur berkeping-keping. Pastilah aku sudah merata dengan tanah. Tak akan lagi ada diriku seperti saat ini.”
Aku menyimak jawabannya dengan seksama.
“Amarahku kala itu juga tidak sia-sia. Semula yang tidak ada menjadi hidup. Kamu bisa melihat buktinya. Di sekelilingku, terhampar sawah yang sudah menguning. Dahulu, lahan-lahan itu sulit untuk menghasilkan. Kini, lahan-lahan tersebut menjadi subur,” dia mulai bercerita tentang keadaan di sekitarnya pasca kemarahannya.
“Bahkan di dekat bantaran sungai sana, kau bisa lihat banyak penduduk yang mendapatkan mata pencaharian baru. Mereka menambang pasir hasil letusanku,” tambahnya.
“Sepertinya aku harus menirumu, kawan,” timpalku.
“Meniru bagaimana maksudmu?” Tanyanya.
“Kau tahu, kondisimu sekarang ini tak sama seperti dirimu yang dulu. Ada bagian darimu yang hilang seiring kemarahanmu beberapa waktu dulu. Seperti ada juga bagian dari diriku yang hilang, namun tak seharusnya kehidupanku juga tumbang. Bila jalinan cintaku kandas, bukan berarti cita-citaku juga harus tertumpas. Melalui dirimu, aku melihat ada banyak kesempatan dalam hidupku,” jawabku.
Dia terdiam. Menyimak.
“Apa yang terjadi pada dirimu, mengingatkanku akan sebuah film di mana salah satu tokohnya berkata bahwa karunia panca indra yang dimiliki oleh seorang bisa memberikan banyak manfaat, bukan hanya untuk merasakan sakit dan mengumbar amarah. Ianya merupakan alat yang kuat dan hebat. Ketika seseorang bisa menggunakannya untuk memperbaiki luka yang tergores di hati, maka dirinya akan memiliki kekuatan yang tak terkalahkan. Sebuah karunia yang sepatutnya harus aku syukuri, sebagai seorang lelaki.”
Dia tersenyum.
“Jika aku bisa bangkit dan mampu memberikan kehidupan baru yang lebih baik, maka kau juga bisa, kawan!” ucapnya memberiku semangat.
Lalu aku dan dirinya terdiam. Kami menikmati suasana yang ada.
Keren mas… ^__^
terima kasih, mbak 🙂
Wah mas rifki banyak banget nih idenya..
ini dari tulisan lama koq mbak. dimodifikasi doank.
Bukan yang ini aja. Lomba yang lain kan ikutan juga 🙂
kadang saya ikutan lomba supaya ada ide yang muncul, mbak
I see. Moga menang yak! 🙂
terima kasih, mbak.
nggak nyoba ikutan?
belum ada ide, mas. moga ntar nemu idenya
semoga nemu idenya 🙂
amiin
sipppp…
lomba berikutnya adalah tentang hari raya 😀
jiaahh.. yang ini aja belum nemu idenya 😀
😀
siapa tahu dapat idenya bersamaan atau satu cerita dibikin dua sudut pandang yang berbeda, kan bisa diikutkan sekaligus
lomba di mana emangnya?
leutikaprio
http://www.leutikaprio.com/berita/1308249/event_thr_tjerita_hari_raya
keren…keren…idenya. Lomba lagi tah..??
terima kasih.
ada, klik aja gambar di bawah postingan ini, di situ keterangan lombanya
siap meluncuuur… 😀
nambah saingan nih 😀
jiaaah…masih jauh sy mah.. 😀 kayaknya mau nulis yg nonfiksi aja..lgi gk pnya ide klo fiksi
😀
saya mah yang penting bisa ngupdate tulisan di blog.
non fiksi mungkin lebih mudah, karena berdasarkan pengalaman.
masih ada waktu beberapa hari, siapa tahu ide buat fiksi lewat dan ketemu.
yup bener…
iya..mdh2an aja ketemu pas lgi bengong2.. 😀 klo nemu ide yg fiksi…jadi dua dunk dikirim, tmbah bnyk saingan… 😛
😀
ya gpp. maksimal empat koq. saya udah bikin 3
woow..mantap…semuanya fiksi..??? baru baca 1 kyknya 😀
enggak…. 2 nonfiksi. 1 fiksi
bagus banget. top markotop
terima kasih, mas 🙂
nyastra ya…kereen lho..
salam kenal 🙂
terima kasih, mbak.
salam kenal juga 🙂
moga menang deh..
terima kasih, mbak
Makasih partisipasinya mas.
kita sering tak menghargai mereka ya… 😦 jadi kayak dijitak baca tulisan mas. 😀
sama-sama.
ya… begitulah. mungkin karena satu dan lain hal yang menutup pandangan kita untuk melihat sesuatu secara lebih jelas.
dijitkan? lumayan sakit donk… 😀
iya. hiks.
semoga ke depannya kita bisa menjadi orang-orang yang lebih baik lagi
amin
🙂
Selamat ya.. 🙂
??????
Tulisannya semakin enak dibaca.
Semoga nanti Syaikhan bangga dengan harta ini.
Terima.kasih
🙂
Lalu aku dan dirinya terdiam. Kami menikmati suasana yang ada—) bagus endingnya, membuat pembaca menerawang 🙂
Walau pernah baca dulu, tapi rasanya beda
Terima kasih
🙂