Aku, Gunung, dan Cinta

gunung_ngarai_sianok

“Aku tak bisa mengembalikan wujudnya seperti semula, tapi mungkin aku bisa sedikit menghiburnya. Menemaninya sebentar. Paling tidak, aku bisa menyapanya.” Pikirku sambil melangkah mendekati gunung yang puncaknya masih mengepulkan asap.

“Apa kabar?” Sapaku kepadanya.

“Lumayan lega,” ucapnya dengan didahului sebuah tarikan napas panjang. “Seperti yang kau lihat, aku telah mengeluarkan unek-unek dan kekesalan dalam hatiku.”

Beberapa waktu yang lalu, gunung di hadapanku ini telah memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya, mulai dari asap tebal, debu, pasir, batu, bahkan lumpur panas. Amarahnya menyebabkan seluruh desa yang berada di sekitarnya hancur. Para warga desa kehilangan rumah-rumah mereka. Sebagian dari mereka bahkan harus kehilangn anggota keluarga mereka. Meninggal.

“Mengapa kau melakukannya?” Tanyaku lagi.

“Selama ini aku hanya menjalankan tugas sebagai pasak untuk menjaga bumi agar tidak bergoyang dan bergoncang ketika ia berotasi atau pun berevolusi.” Jawabnya.

Aku diam menyimak.

“Demi perintah itu, aku rela menahan sakit setiap kali tubuhku diinjak, dipahat, atau pun digali. Aku tidak ambil pusing jika ada yang mengotoriku dengan air seni dan kotoran mereka. Aku masih mampu bertahan.” Sambungnya.

“Lalu apa yang membuatmu tidak sanggup lagi bertahan?” Tanyaku penasaran.

“Ketika kulihat ada perbuatan mereka yang telah melanggar fitrah mereka sebagai manusia dan juga fitrahku sebagai makhluk, aku marah. Ketika mereka mengagung-agungkan diriku yang sebenarnya tida lebih baik dari mereka, aku murka. Ketika mereka menyembahku dan bukan menyembah penciptaku dan pencipta mereka, aku tumpahkan apa yang ada di dalam perutku. Agar mereka semua tersadar.” Jawabnya dengan nada sedih.

“Sepertinya aku mengalami hal yang serupa denganmu, hanya saja kadarnya yang berbeda,” aku menimpali.

“Apa maksudmu?” kali ini dirinya yang bertanya.

“Ketika aku disamakan dengan binatang, aku tetap diam. Ketika aku dipaksa untuk meninggalkan prinsip yang selama ini telah kupegang, aku masih bersedia. Tapi, ketika aku dihadapi pilihan, antara cinta manusia dan bau surga, maka aku memilih bau surga dan pergi meninggalkan cinta yang berduri.” Jawabku.

“Lalu, bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanyanya kembali.

“Sama seperti yang kau rasakan. Lumayan lega.” Jawabku.

Lalu kami terdiam bersama tanpa kata-kata, hanya menikmati suasana yang ada.

—ooo0ooo—

Setelah belasan kali purnama berganti. Aku datang kembali untuk menyapa dirinya yang masih tegak berdiri, meski ada beberapa bagian dari dirinya yang tak sama seperti yang dahulu.

“Apa kabarmu kawan?” Sapaku kepadanya.

Kupandangi apa yang ada di sekeliling tempatku dan kawanku berdiri.

“Banyak perubahan di sini,” ucapku.

“Ya. Karena perubahan itu, maka sudah selayaknya aku memiliki rasa syukur!”

“Bersyukur? Maksudmu?” Tanyaku heran.

“Ya. Aku harus bersyukur bahwa amarahku tidak menyebabkan diriku hancur-lebur. Hanya sebagian tubuhku yang hilang, karenanya kau masih bisa melihatku tegak berdiri, meski dengan kondisi fisik yang tidak lagi sempurna. Tak bisa kubayangkan jika seluruh tubuhku hancur berkeping-keping. Pastilah aku sudah merata dengan tanah. Tak akan lagi ada diriku seperti saat ini.”

Aku menyimak jawabannya dengan seksama.

“Amarahku kala itu juga tidak sia-sia. Semula yang tidak ada menjadi hidup. Kamu bisa melihat buktinya. Di sekelilingku, terhampar sawah yang sudah menguning. Dahulu, lahan-lahan itu sulit untuk menghasilkan. Kini, lahan-lahan tersebut menjadi subur,” dia mulai bercerita tentang keadaan di sekitarnya pasca kemarahannya.

“Bahkan di dekat bantaran sungai sana, kau bisa lihat banyak penduduk yang mendapatkan mata pencaharian baru. Mereka menambang pasir hasil letusanku,” tambahnya.

“Sepertinya aku harus menirumu, kawan,” timpalku.

“Meniru bagaimana maksudmu?” Tanyanya.

“Kau tahu, kondisimu sekarang ini tak sama seperti dirimu yang dulu. Ada bagian darimu yang hilang seiring kemarahanmu beberapa waktu dulu. Seperti ada juga bagian dari diriku yang hilang, namun tak seharusnya kehidupanku juga tumbang. Bila jalinan cintaku kandas, bukan berarti cita-citaku juga harus tertumpas. Melalui dirimu, aku melihat ada banyak kesempatan dalam hidupku,” jawabku.

Dia terdiam. Menyimak.

“Apa yang terjadi pada dirimu, mengingatkanku akan sebuah film di mana salah satu tokohnya berkata bahwa karunia panca indra yang dimiliki oleh seorang bisa memberikan banyak manfaat, bukan hanya untuk merasakan sakit dan mengumbar amarah. Ianya merupakan alat yang kuat dan hebat. Ketika seseorang bisa menggunakannya untuk memperbaiki luka yang tergores di hati, maka dirinya akan memiliki kekuatan yang tak terkalahkan. Sebuah karunia yang sepatutnya harus aku syukuri, sebagai seorang lelaki.”

Dia tersenyum.

“Jika aku bisa bangkit dan mampu memberikan kehidupan baru yang lebih baik, maka kau juga bisa, kawan!” ucapnya memberiku semangat.

Lalu aku dan dirinya terdiam. Kami menikmati suasana yang ada.

 

49 respons untuk ‘Aku, Gunung, dan Cinta

  1. chiemayindah Agustus 11, 2013 / 15:20

    Keren mas… ^__^

    • jampang Agustus 11, 2013 / 15:57

      terima kasih, mbak 🙂

  2. ayanapunya Agustus 11, 2013 / 15:29

    Wah mas rifki banyak banget nih idenya..

    • jampang Agustus 11, 2013 / 15:58

      ini dari tulisan lama koq mbak. dimodifikasi doank.

      • ayanapunya Agustus 11, 2013 / 16:18

        Bukan yang ini aja. Lomba yang lain kan ikutan juga 🙂

      • jampang Agustus 12, 2013 / 06:26

        kadang saya ikutan lomba supaya ada ide yang muncul, mbak

      • ayanapunya Agustus 12, 2013 / 07:01

        I see. Moga menang yak! 🙂

      • jampang Agustus 12, 2013 / 08:03

        terima kasih, mbak.
        nggak nyoba ikutan?

      • ayanapunya Agustus 12, 2013 / 08:12

        belum ada ide, mas. moga ntar nemu idenya

      • jampang Agustus 12, 2013 / 08:35

        semoga nemu idenya 🙂

      • jampang Agustus 12, 2013 / 08:52

        sipppp…

        lomba berikutnya adalah tentang hari raya 😀

      • ayanapunya Agustus 12, 2013 / 08:55

        jiaahh.. yang ini aja belum nemu idenya 😀

      • jampang Agustus 12, 2013 / 08:58

        😀

        siapa tahu dapat idenya bersamaan atau satu cerita dibikin dua sudut pandang yang berbeda, kan bisa diikutkan sekaligus

      • ayanapunya Agustus 12, 2013 / 08:59

        lomba di mana emangnya?

  3. herma1206 Agustus 11, 2013 / 17:12

    keren…keren…idenya. Lomba lagi tah..??

    • jampang Agustus 12, 2013 / 06:28

      terima kasih.
      ada, klik aja gambar di bawah postingan ini, di situ keterangan lombanya

      • herma1206 Agustus 12, 2013 / 07:33

        siap meluncuuur… 😀

      • jampang Agustus 12, 2013 / 08:06

        nambah saingan nih 😀

      • herma1206 Agustus 12, 2013 / 08:29

        jiaaah…masih jauh sy mah.. 😀 kayaknya mau nulis yg nonfiksi aja..lgi gk pnya ide klo fiksi

      • jampang Agustus 12, 2013 / 08:36

        😀
        saya mah yang penting bisa ngupdate tulisan di blog.
        non fiksi mungkin lebih mudah, karena berdasarkan pengalaman.
        masih ada waktu beberapa hari, siapa tahu ide buat fiksi lewat dan ketemu.

      • herma1206 Agustus 12, 2013 / 08:46

        yup bener…
        iya..mdh2an aja ketemu pas lgi bengong2.. 😀 klo nemu ide yg fiksi…jadi dua dunk dikirim, tmbah bnyk saingan… 😛

      • jampang Agustus 12, 2013 / 08:57

        😀

        ya gpp. maksimal empat koq. saya udah bikin 3

      • herma1206 Agustus 12, 2013 / 09:00

        woow..mantap…semuanya fiksi..??? baru baca 1 kyknya 😀

      • jampang Agustus 12, 2013 / 09:06

        enggak…. 2 nonfiksi. 1 fiksi

    • jampang Agustus 12, 2013 / 06:28

      terima kasih, mas 🙂

  4. nita Agustus 12, 2013 / 09:51

    nyastra ya…kereen lho..
    salam kenal 🙂

    • jampang Agustus 12, 2013 / 10:00

      terima kasih, mbak.
      salam kenal juga 🙂

    • jampang Agustus 12, 2013 / 15:19

      terima kasih, mbak

  5. Ryan Agustus 13, 2013 / 14:35

    Makasih partisipasinya mas.
    kita sering tak menghargai mereka ya… 😦 jadi kayak dijitak baca tulisan mas. 😀

    • jampang Agustus 13, 2013 / 14:53

      sama-sama.

      ya… begitulah. mungkin karena satu dan lain hal yang menutup pandangan kita untuk melihat sesuatu secara lebih jelas.

      dijitkan? lumayan sakit donk… 😀

      • Ryan Agustus 13, 2013 / 14:54

        iya. hiks.

      • jampang Agustus 13, 2013 / 14:56

        semoga ke depannya kita bisa menjadi orang-orang yang lebih baik lagi

      • Ryan Agustus 13, 2013 / 15:18

        amin

      • jampang Agustus 13, 2013 / 16:03

        🙂

    • nurme September 29, 2013 / 22:19

      Selamat ya.. 🙂

      • jampang September 29, 2013 / 22:24

        ??????

      • nurme September 29, 2013 / 22:29

        Tulisannya semakin enak dibaca.
        Semoga nanti Syaikhan bangga dengan harta ini.

      • jampang September 29, 2013 / 22:32

        Terima.kasih

      • nurme September 29, 2013 / 22:49

        🙂

  6. nurme September 29, 2013 / 22:17

    Lalu aku dan dirinya terdiam. Kami menikmati suasana yang ada—) bagus endingnya, membuat pembaca menerawang 🙂
    Walau pernah baca dulu, tapi rasanya beda

    • jampang September 29, 2013 / 22:22

      Terima kasih

      • nurme September 29, 2013 / 22:25

        🙂

Tinggalkan jejak anda di sini....