Yang Tak Dimiliki Lagi

mencintai malam yang malang
Malam yang mulai larut menjadi penanda awal sebuah kemalangan bagi lelaki itu. Menjelang tidurnya, dia akan mendengar mata, telinga, mulut, dan hatinya terus bicara. Jika itu terjadi, dia akan berkelakukan aneh seperti orang stres. Seperti orang gila. Karenanya, setiap kali sebelum tidur, lelaki itu akan melepas mata, telinga, mulut, dan hatinya.

Malam itu, dia melakukan apa yang dia lakukan di malam-malam yang telah lalu. Sesaat setelah lelaki itu meletakkan mata, telinga, mulut, dan hatinya ke dalam sebuah bejana terbuat dari kaca dan tubuhnya sudah terbaring seakan tak bernyawa di atas tempat tidur, terdengarlah sebuah percakapan.

“Aku heran dengan apa yang kulihat tadi siang!” ucap Mata mendahului yang lain.

“Memangnya apa yang kamu lihat?” tanya Telinga penasaran.

“Aku melihat orang-orang berada di sebuah warung makan dan menyantap dengan lahap menu makan siang mereka. Padahal, ini Bulan Ramadan!”

“Mungkin mereka adalah musafir. Musafir memang diperbolehkan untuk tidak berpuasa di Bulan Ramadan namun wajib menggantinya di lain waktu,” timpal Telinga.

“Tapi aku melihat mereka setiap hari di waktu dan tempat yang sama. Hampir setiap pagi dan siang!”

“Menurut kalian apa yang menyebabkan orang-orang makan di siang hari sementara lainnya berpuasa dan bermesraan di tempat umum padahal mereka bisa melakukannya di rumah atau di tempat yang lebih pribadi?” tanya Mata.

“Aku tak tahu!” jawab Telinga.

“Mungkin zaman yang berubah,” jawab Mulut.

Lalu ketiganya memandang Hati yang sejak tadi diam.

Menyadari ketiga sahabatnya menunggu sesuatu darinya, akhirnya Hati angkat bicara.

“Sebab ada yang hilang dari mereka. Sebab ada sesuatu yang dahulu mereka punya sekarang sudah tidak lagi mereka miliki,” ucap Hati.

“Apa yang hilang?” tanya Mata.

“Apa yang tak lagi mereka miliki?” tanya Telinga hampir bersamaan.

“Kalian mau mendengarkan jawabanku?” tanya Hati.

“Tentu saja!” jawab Mata, Telinga, dan Mulut kompak.

Hati tertawa.

“Mengapa kamu malah tertawa?” tanya Mata heran.

“Aku merasa aneh saja. Sebab manusia-manusia itu nyaris tidak pernah mau mendengarkan apa kata hati mereka. Sementara kalian malah meminta jawaban dariku,” jawab Hati.

“Ya, karena kami bukan mereka!” jawab Mata sekenanya.

“Betul!” Telinga dan Mulut mengaminkan.

“Jika kalian menginginkan jawabannya, bersabarlah! Tunggu hingga esok pagi!” pinta Hati.

Sekitar pukul delapan pagi, lelaki itu sudah duduk di salah satu kursi di teras rumahnya. Tangan kirinya memegang semangkuk mi rebus yang masih hangat. Sementara tangan kanannya menyendok mi rebus tersebut ke mulutnya.

Tiba-tiba, dari dalam rumah, keluar seorang perempuan.

“Mas!” bentak perempuan itu. “Kamu tahu nggak kalau ini bulan puasa? Aku dan anakmu puasa. Tetangga juga puasa. Kamu malah makan. Di depan rumah pula. Apa kamu sudah tidak punya rasa malu lagi, Mas?”

“Hai Mata, Telinga, Mulut! Kamu dengar itu? Itulah jawabanku untuk pertanyaan kalian semalam,” ucap Hati.

Seketika, lelaki itu mulai bertindak aneh. Dia menutup kedua telinganya dan berguling-guling di lantai.

******

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari, no. 3483)


Tulisan Terkait Lainnya :

10 respons untuk ‘Yang Tak Dimiliki Lagi

  1. shiq4 Juni 22, 2016 / 13:32

    Saya pernah baca2 hadist kalau rasa malu merupakan tanda orang beriman. Benar sekali mas jampang. Sayangnya saya lupa hadistnya ha ha ha…..

    • jampang Juni 22, 2016 / 14:12

      saya juga lupa nambahin. haditsnya sudah saya tambahin di akhir cerita

  2. YSalma Juni 22, 2016 / 15:33

    Malu memang sebagian dari iman ternyata yaa, jangan sampai hilang.

    • winnymarlina Juni 22, 2016 / 17:24

      iya untaina katanya pas menasehati tanpa kelihatan menasehatin apa ya istilahnya 😀

      • jampang Juni 23, 2016 / 08:30

        😀

      • jampang Juni 23, 2016 / 08:31

        terima kasih, mbak

Tinggalkan jejak anda di sini....