Delapan Hal yang Ingin Kulakukan Menjelang Delapan Hari Kematian


dnamoraGA1-300x164

bila Izrail datang memanggil
jasad terbujur di pembaringan
seluruh tubuh akan menggigil
terbujur badan dan kedinginan

tak ada lagi gunanya harta
kawan karib sanak saudara
jikalau ada amal di dunia
itulah hanya pembela kita

 janganlah mau dikenang-kenang
engkau digelar manusia agung
sadarlah diri tahu diuntung
sebelum masa keranda diusung

datang masanya insaflah diri
selimut putih pembalut badan
tinggal semua yang dikasihi
berbaktilah hidup sepanjang zaman

[Selimut Putih – Hijjaz]

Sudah selesaikah kamu menyimak lirik-lirik itu?

Siapa kamu? Sejak kapan kamu berada di sampingku?

Aku Sang Maut. Aku bisa datang kapan saja tanpa sepengetahuanmu.

Jadi, aku akan mati?

Bukankah setiap makhluk yang bernyawa, termasuk dirimu, akan mati?

Maksudku, apakah kamu akan mencabut nyawaku saat ini?

Tidak.

Ah, syukurlah.

Kamu takut mati?

Iya.

Ketakutanmu tidak akan menghindarkanmu dari kematian. Takut atau tidak, kamu akan tetap mati.

Jadi aku harus berani menantang kematian?

Itu juga bukanlah hal yang terpuji.

Jadi aku harus bagaimana?

Siapkan saja bekal yang cukup!

Berapa lama waktu yang kupunya untuk menyiapkan bekal?

Delapan hari.

Delapan hari?

Waktu yang cukup, bukan?

Tapi itu terlalu mepet?

Ah, bukankah ide-ide brilianmu sering terlahir ketika dirimu kepepet?

Tapi tetap saja beda. Ini tentang kematianku.

Di antara dua hal yang berbeda, pasti ada satu titik kesamaan. Meskipun titik itu sangat kecil dan kadang tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan teliti. Sekarang pikirkanlah apa yang akan kamu lakukan dalam delapan hari ke depan agar cukup bekalmu ketika meninggalkan dunia ini!

Baiklah. Pertama, aku akan menemui kedua orang tuaku untuk meminta maaf dan ridho keduanya.

Mengapa hal itu yang pertama kau pilih?

Sebagai seorang anak, aku tidak mungkin terlahir ke dunia ini tanpa kedua orang tuaku.

Aku sadar, bahwa aku belum bisa menjadi anak seperti yang diharapkan ayah dan ibuku. Aku belum bisa membahagiakan keduanya. Sebaliknya, aku justru sering mengecewakan, menyakiti, dan melawan perintah mereka.

Aku ingin melakukan sesuatu yang dapat membahagiakan mereka. Semisal mengajak mereka jalan-jalan atau makan bersama. Jika memungkinkan, aku akan membukakan tabungan haji untuk ayah dan ibuku. Dengan melakukannya, kuharap aku bisa mendapatkan maaf dan ridha dari keduanya atas segala kesalahan yang pernah kulakukan. Bukankah ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala berada pada ridha orang tua? Dan ridha Allah, adalah sebuah nikmat yang terbesar yang bisa didapatkan oleh seorang hamba.

Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?

Kedua, aku akan memperbaiki shalatku.

Ada alasan penting mengapa kamu ingin melakukannya?

Shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab kelak. Amalan seseorang bisa baik atau buruk dinilai dari shalatnya. Jika shalatku baik, semoga saja amalanku yang lain juga akan baik.

Bagaimana kamu memperbaiki shalatmu?

Aku akan datang ke masjid di setiap waktu shalat agar bisa shalat berjama’ah. Akan kulengkapi shalat berjama’ahku dengan shalat sunnah rawatib. Akan kuisi pagi hariku dengan dhuha dan sepertiga malamku dengan tahajjud dan witir. Kuharap, shalat-shalat sunnah itu akan menambal kekurangan-kekurangan dalam shalat-shalat wajibku.

Lantas apa lagi yang akan kamu lakukan?

Ketiga, Aku akan mengunjungi teman-temanku. Akan kudatangi rumah-rumah mereka atau kusapa mereka melalui media sosial.

Untuk apa kamu melakukannya?

Aku sering berinteraksi dengan mereka. Bukan hal yang mustahil jika lidah dan tanganku pernah menyakiti mereka. Aku akan meminta maaf kepada mereka agar tak ada lagi beban kesalahan saat aku meninggalkan dunia ini.

Ada yang keempat?

Aku akan melunasi utangku.

Berapa utangmu?

Dua puluh lima juta rupiah. Andai saja aku ditakdirkan masuk ke surga, aku tak ingin utangku menjadi penghambat jalanku untuk memasukinya. Aku juga tak ingin menyusahkan ahli warisku dengan meninggalkan kewajiban melunasi utang tersebut.

Kamu sering sekali menulis di blog. Mungkinkah kamu menjadikan blog ini sebagai salah satu bekal yang akan kau bawa ketika pulang kampung?

Ah, iya. Aku memang suka menulis. Sepertinya, aku bisa menjadikan hobiku ini sebagai ladang amal. Aku jadi teringat sebuah nasihat dari salah satu saudaraku yang bekerja di bidang jurnalistik. Nasihat yang bersumber dari ayah beliau. Nasihat yang berbunyi, “Kalau loe jadi penceramah, paling-paling yang dengeri ceramah loe cuma segelintir orang, seratus sampe lima ratus orang, itu mungkin sudah hebat. Tapi kalau loe nulis, ribuan bahkan ratusan ribu orang bise bace tulisan loe. Apelagi kalo loe bise nyelipin nasihat-nasihat yang bakalan ngasih manfat dan bikin sadar banyak orang.”

Aku akan menyusun naskah dari tulisan-tulisan yang bermanfaat di blog ini dan menerbitkannya menjadi sebuah buku agar bisa dibaca dan menginspriasi orang lain untuk berbuat kebaikan. Jika ada kebaikan di dalamnya, lalu kebaikan itu dilakukan oleh orang banyak, aku akan mendapatkan aliran pahala sebanyak pahala orang-orang yang melakukannya.

Andaikan naskah yang kubuat tak sempat kuterbitkan, mudah-mudahan ada ahli warisku atau sahabatku bersedia untuk membukukannya.

Adakah tempat yang ingin kamu kunjungi sebelum kematianmu?

Ada. Mekkah dan Madinah. Aku ingin mengunjungi kedua kota suci itu. Aku ingin shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Sebab shalat di Masjid Nabawi lebih baik daripada 1000 shalat di masjid lain kecuali di Masjidil Haram. Dan shalat di Masjidil Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di masjid lain.

Bagaimana dengan istri dan anak yang akan kamu tinggalkan?

Mereka adalah orang-orang terdekatku. Kesalahanku kepada mereka bisa jadi lebih banyak dibandingkan kesalahanku kepada orang lain. Aku akan meminta maaf atas segala khilaf dan salahku. Aku akan berusaha melakukan hal-hal terbaik untuk kebahagiaan mereka di sisa umurku. Aku juga akan meminta doa dari mereka agar kehidupanku di akhirat lebih baik dan kami dipertemukan kembali bersama-sama di surga.

Ada lagi yang ingin kamu lakukan?

Bertaubat. Dosa dan kesalahanku teramat banyak. Tubuh dan jiwaku yang penuh noda ini tak layak untuk mendapatkan surga. Namun tak sanggup pula menanggung siksa neraka. Yang kumiliki hanyalah harapan bahwa Allah Subahanahu Wa Ta’ala adalah pengampun dosa dan penerima taubat.

Mungkin sebaiknya kamu melakukan semua itu tanpa memikirkan waktu delapan hari yang kusebutkan di awal pertemuan.

Mengapa?

Seperti halnya jodoh, kematian adalah sebuah misteri. Kedatangannya adalah sebuah kepastian. Namun tak ada yang mengetahui waktunya. Termasuk diriku. Lagi pula, aku bukanlah Sang Maut yang sebenarnya. Aku hadir karena hatimu sedang jernih dan pikiranmu sedang merenung tentang kematian.

Jadi aku bisa mati kapan saja?

Ya. Bisa bulan depan, berpuluh-puluh tahun yang akan datang, dan bisa pula sesaat setelah dialog ini berakhir.

….

*****

Tulisan ini diikutkan dalam dnamora Giveaway

 


Tulisan Terkait Lainnya :