Bisa Jadi…

Pagi ini, sekitar pukul delapan kurang beberapa menit,  seorang kawan mengirimkan pesan atau tepatnya pertanyaan kepada saya melalui Whatsapp.

“kiii… loe ngucapin natal gak?” Begitu bunyi pertanyaan kawan saya tersebut.

“Nggak,” jawab saya singkat.

“Iya gw jg kalo gitu,” balasnya lagi.

“Toleransi nggak harus ikutan ngerayaain atau ngucapin,” saya tambahkan lagi dengan penjelasan yang selama ini saya yakini.

“Iyee.  Gw blm ke group krn masih ucapan natal. ntar ajah siangan. ngobrol yg laen,” ucapnya sebelum memgakhiri percakapan kami pagi ini.

Memang, pagi ini, di beberapa group WhatsApp yang saya ikuti, dipenuhi dengan kalimat ucapan selamat Natal dari para anggota kepada teman dan rekan yang merayakannya. Sementara saya, cukup memantau dan tak ikut mengucapkan.

Mengenai boleh tidaknya memberi ucapan selamat natal, banyak pendapat para ulama yang bisa dirujuk. Silahkan mengikuti pendapat mana yang lebih sreg dan pas di hati. Sementara saya, cukuplah toleransi ini saya wujudkan dalam bentuk mempersilahkan rekan-rekan umat kristiani merayakannya dengan aman dan nyaman.

Tak perlu resah atau gelisah. Sebab jika kita mengenal para ulama itu dengan baik, kita bisa meyakini keilmuannya. kita bisa pula meyakini kebenaran pendapat mereka yang tentu saja berlandaskan pada Al-quran dan Al-hadits. Sebab jika merasa resah dan gelisah bisa jadi….

bisa jadi…. Kita yang jarang ngaji
bisa jadi…. Kita yang udah lama nggak duduk dalam sebuah majlis ilmu
bisa jadi…. Kita yang sudah jauh dengan al-quran dan Al-hadits
bisa jadi…. Kita yang sudah jauh dengan para ulama
bisa jadi…. Semua itu yang membuat hati dan pikiran kita resah dan gelisah

Dari sekian pesan di WhatsApp dan status di Facebook yang sempat saya baca pagi ini, ada sebuah status yang menarik perhatian saya. Sebuah status yang cukup panjang yang menceritakan tentang pengalaman siempunya status tentang perayaan Natal yang dahulu (sebelum memeluk agama islam) dirayakannya. Status yang saya maksud bisa dibaca di link berikut :

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209201641970511&id=1004588751

Saya sudah meminya izin kepada Mas Dody Aris Permana untuk mem-paste statusnya ke dalam blog jika saya memiliki ide untuk membuat sebuah tulisan yang mungkin ada kaitannya dengan status beliau. Berikut adalah status beliau yang saya maksud.

Saya tidak akan merepost fatwa berbagai ulama yg banyak telah dipost teman2 fb. Silakan merujuk kesana. Saya hanya ingin flashback ke umur ketika masih seumuran sd-smp.

Sebagaimana umumnya keluarga katolik, dulu kami sekeluarga sangat antusias dgn natal. Kemeriahannya menurut saya waktu itu bahkan melebihi meriahnya idul fitri karena idul fitri gaungnya paling cuma sehari. Cuma di hari pertama tamu dan tetangga ramai saling berkunjung sedangkan kami kalau natalan bisa seminggu full menerima tamu. Gembiranya anak kecil sesederhana hubungan banyak tamu banyak juga makanan hari raya.

Saya ingat ketika itu tiap tamu pasti mengucapkan selamat natal sampai ketika di tahun baru beberapa tamu yg baru selesai jamaah isya di masjid datang bertamu. 

Yg menarik perhatian saya waktu itu ketika ustadznya menyampaikan selamat dengan menggunakan redaksi selamat tahun baru bukan umumnya tamu yg mengucapkan selamat natal.

Sepulang para tamu saya menanyakan hal itu ke bapak dan dijawab bapak tamu itu memang biasa datang terlambat di tahun baru dan soal ucapan selamat tahun baru adalah karena mereka tidak mau mengucapkan selamat natal karena dalam islam dilarang.

Wah waktu itu saya heran kenapa islam mencampuri urusan agama lain. Apa hubungan islam dgn agama katolik. 

FYI selama belajar agama katolik di sekolah kami memang tidak pernah disampaikan tentang agama lain misalkan seperti apa islam dan kemiripannya dgn kristen jadi bisa dibilang ketika itu saya buta terhadap islam. 

Mungkin juga sampai sekarang ada murid sekolah katolik yg menganggap islam dan kristen adalah agama yg sama sekali lain padahal hubungannya sangat dekat.

Keheranan saya terhadap perilaku tamu di atas mungkin dapat disebut salah satu pembuka keingintahuan saya terhadap islam. Timbul penasaran yg mendorong untuk ingin tahu ajaran islam yg akhirnya membuka hati untuk menerima islam walhamdulillah.

Ketegaran sang tamu menjaga aqidahnya tidak mengucapkan selamat atas kelahiran seorang yg dalam versi agama lain dianggap tuhan telah membuka pintu keingintahuan saya terhadap islam. 

Tentu tidak akan timbul rasa penasaran saya waktu itu jika sang ustadz ikut-ikutan mengucapkan selamat natal dgn alasan silaturahmi atau apapaun. 

Mungkin cara pembuka hidayah tersebut dapat terulang pada diri-diri kita sekarang. 

Siapa tahu ketegaran kita tidak mengucapkan selamat natal juga dapat membuka pintu keingintahuan mereka utk mengenal islam. 

Terjadi pada saya dan bukan tidak mungkin terjadi pada orang lain.

Semoga Allah memberika porsi pahala kepada sang ustadz atas hidayah ini. Rahimallahu ya ustadz fulan (lupa namanya).

Wallaahu a’lam.


Tulisan Terkait Lainnya :