[Berani Cerita #34] Jalak Bali dan Kakaktua Raja

credit

Air kotor berwarna gelap langsung menenggelamkan kedua telapak kaki telanjangku hingga ke mata kaki. Kondisi yang sudah biasa kutemui sehari-hari di tempat yang bagi orang lain adalah tempat yang tak mungkin mereka kunjungi. Itu tak seberapa, sebab pernah beberapa kali, aku tidak bisa melihat kedua betisku sendiri ketika aliran air di gorong-gorong ini meninggi yang tentu saja menyulitkan pekerjaanku.

Jorok. Kesan yang pertama kali kutangkap dan kurasakan ketika pertama kali diriku terjun ke dalam pekerjaan ini. Itu juga jika apa yang kulakukan layak disebut sebagai pekerjaan. Kedua kaki dan tanganku langsung terasa gatal-gatal setelah kubawa tubuhku keluar dari gorong-gorong. Sekarang, rasa itu mungkin sudah tidak mampu menembus kulitku yang sudah kebal.

Kugunakan benda berbentuk bundar terbuat dari plastik dengan banyak lubang di tengahnya untuk menyerok dasar gorong-gorong. Lalu kubawa ke tempat dengan sumber cahaya yang lebih banyak agar kedua mataku bisa melihat adakah benda yang kucari di dalamnya. Jika tidak ada, nyatanya memang lebih sering tidak kutemukan benda yang kucari, kutumpahkan kembali isi serokan tersebut. Lalu kuserok lagi dasar gorong-gorong di sisi lain.

Entah sudah berapa kali kali aku melakukannya. Kurasakan terik matahari mulai menyengat. Hawa di dalam gorong-gorong ini juga mulai memanas. Keringat mulai membasahi tubuhku, juga kaos kumal yang kukenakan. Tulang-tulangku mulai terasa pegal. Beberapa kali gemetar tubuhku sempat melimbungkah langkahku. Tapi aku harus terus mencari. Rasa lapar dan dahaga ini harus kucari penawarnya.

Tiba-tiba kudengar suara benda beradu dengan dinding gorong-gorong di sisi yang terbuka. Segera kualihkan pandanganku. Ujung mataku sempat menangkap percikan air di mana benda itu jatuh. Segera kuberlari mendekati.

Pandangan mataku tak bisa menembus ke dasar gorong-gorong. Terhalang oleh gelapnya warna air. Kugunakan benda di tangan kananku yang senantiasa menemaniku untuk meyerok dasar gorong-gorong di mana benda tersebut terjatuh.

Semoga kali ini kutemukan. Doaku penuh harap.

Kuperiksa hasil serokanku yang kebanyakan terdiri dari batu-batu berwarna gelap dan beberapa benda sampah lainnya. Tangan kananku memilah-milah semua benda tersebut untuk menemukan benda yang kucari.

—o0o—

“Mbak!” Kupanggil perempuan pemilik warung kecil yang kerap kukunjungi hampir setiap hari. “Beli roti dan air minum!” Sambungku. Hanya dua barang itu yang selalu kubeli. Tak pernah yang lain.

Kembali wajah bertampang masam dari perempuan itu yang kudapati. Sejak pertama kali aku membeli roti dan air minum di warung kecilnya, hampir tak pernah kulihat dirinya tersenyum atau mengucap sesuatu kepadaku. Hanya kepadaku. Sementara kepada pembeli lain, dirinya akan bermuka manis.

“Ini!” Kuserahkan sepuluh keping benda dari logam berbentuk lingkaran kepadanya. Lima di antaranya bergambar burung Jalak Bali dan lima lagi bergambar burung Kakaktua Raja. Semuanya adalah hasil pencarianku di gorong-gorong yang tak jauh dari tempaku membeli sarapan sekaligus makan siangku. Aku tertolong oleh logam terakhir yang kutemukan setelah seorang pengamen sombong membuangnya.

---

Berani Cerita Sebelumnya :

• [Berani Cerita #33] Dua Cara Satu Tujuan
• [Berani Cerita #32] Dia Adalah Maut
• [Berani Cerita #31] Sate Kambing
• [Berani Cerita #30] Air Susu Dibalas Air Tuba
• [Berani Cerita #29] Siapa yang Mengajarimu?