Ini Kisah Tentang Diriku dan Rokok

Perkenalkan, namaku Cakra. Usiaku kini dua puluh sembilan tahun. Di masa kecilku, aku adalah manusia. Seutuhnya. Kini, aku hanyalah zombie. Zombigaret. Ini adalah kisahku.

Aku sering sekali melihat ayahku merokok. Kadang ayahku merokok di teras sambil membaca koran di pagi hari sebelum berangkat bekerja. Kadang di malam hari di tempat yang sama sambil menikmati secangkir kopi yang dibuatkan ibu. Kulihat ayahku sangat menikmati setiap hisapan rokoknya. Ada sesuatu yang keren di mataku di setiap kepulan asap yang dihembuskannya.

Aku ingin merokok seperti ayahku. Apalagi teman sepermainanku, Dimas, juga suka merokok. Usianya lebih tua beberapa tahun dariku. Dia sering mengejekku karena tidak merokok.

“Bapakmu aja merokok. Masa kamu, anaknya, nggak berani merokok. Banci!” ejeknya.

Suatu hari, aku memberanikan diri mengambil sebatang rokok milik ayahku secara diam-diam. Lalu aku berlari ke belakang rumah dan memanjat pohon rambutan. Di atas pohon, ketika usiaku sepuluh tahun, itulah aku menghisap rokok pertama kali.

Aku terbatuk di hiasapan  pertama. Namun di hisapan berikutnya, aku mulai bisa menguasai diri dan menikmati. Tidak sia-sia selama ini aku memperhatikan bagaimana cara ayahku merokok.

Di hari-hari berikutnya, aku mulai terbiasa merokok dan ketagihan. Kusisihkan uang jajanku untuk membeli sebatang rokok setiap harinya. Jika tak ada uang sama sekali yang kumiliki, aku akan mengambil sebatang rokok milik ayahku tanpa sepengetahuannya.

Ketika aku bermain dan berkumpul besama Dimas dan teman-teman lainnya, aku tak lagi dianggap banci. Tak ada lagi yang mengejekku. Aku pun merasa bangga dan menganggap diriku keren. Sekeren ayahku. Sekeren iklan rokok yang sering kulihat di televisi.

Saat aku kuliah, ada seorang dosen yang jika mengajar di depan kelas sambil menghisap rokok. Suatu ketika, beliau memberikan bantahan terhadap hasil survey yang menyatakan bahwa rokok dapat menimbulkan penyakit seperti kanker dan jantung dengan mengatakan bahwa bisa saja yang disurvey adalah orang-orang yang memang sudah sakit kanker dan jantung sebelum mereka merokok.

Masuk akal juga!

Aku tetap merokok dan tak ambil pusing dengan kalimat “PERINGATAN PEMERINTAH : MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN” yang tertulis di setiap bungkus rokok yang kubeli hingga lulus kuliah dan bekerja.

Ruang kerjaku ber-AC. Aku tak bisa merokok sambil bekerja. Jika ingin merokok, aku akan keluar menuju tangga darurat. Di tempat itulah aku selalu merokok.

Beberapa waktu kemudian, aku melihat gelagat yang aneh dari teman-teman di ruang kerjaku. Sebagian besar mereka mengenakan masker. Belakangan aku tahu bahwa pakaian kerjaku yang bau rokok adalah penyebabnya.

Mereka kemudian  menyampakan keluhan kepada manajemen perusahaan yang selanjutnya mengeluarkan  kebijakan untuk menyediakan ruang kerja khusus bagi pegawai yang merokok sehingga tidak mengganggu kenyamanan pegawai yang lain. Kebijakan yang menyenangkan buatku. Sebab dengan demikian, aku bisa merokok sepanjang jam kerja tanpa ada yang memprotes.

Waktu terus berjalan. Kurasakan ada yang salah dengan tubuhku. Kesehatanku menurun. Aku mengalami gangguan pernapasan, nyeri di dada, dan batuk yang tak berkesudahan. Bahkan sesekali aku mengalami batuk darah.

Aku abaikan nasihat beberapa kawan agar diriku berhenti merokok. Tanpa rokok aku tak bisa konsentrasi bekerja. Aku tetap merokok.

Lama kelamaan suaraku menjadi serak dan kesulitan menelan. Pandanganku mulai kabur. Aku sering sakit kepala dan mengalami mati rasa pada di beberapa bagian tubuhku. Badanku kian kurus, seperti tulang yang hanya dibalut dengan kulit. Aku sering tertidur di ruang kerja akibat kelelahan yang datang tiba-tiba.

Kini kuyakin, rokok tidak membunuh perokok seperti yang tertulis di kemasan rokok saat ini. Rokok akan tetap membuatmu hidup tanpa bisa melakukan apa-apa. Seperti zombi. Seperti diriku sekarang. Terbaring di rumah sakit dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Persis seperti yang dialami ayahku yang  didiagnosa terkena kanker paru-paru lima tahun yang lalu.

Kini aku sendiri. Tak ada yang menemaniku. Ayahku meninggal akibat kanker paru-paru. Begitu pula ibuku. Meskipun ibuku bukan perokok.


Tulisan Terkait Lainnya :