Menjadi Lebih Baik Itu Lebih Baik Daripada Sekedar yang Terbaik

rose-iconNggak usah bingung, Sal, jika kali ini aku menggunakan berkali-kali kata “baik” di dalam rangkaian kalimatku. Bukankah kita menginginkan banyak kebaikan di sekeliling kita? Bukankah kebaikan pula, kebaikan di dunia dan di akhirat, yang kerap kali kita pinta dalam setiap doa yang terucap? Bukankah kita memang diperintahkan untuk selalu berbuat baik?

Bahkan ketika ingin menghilangkan nyawa makhluk hidup pun, kita diperintahkan untuk melakukannya secara baik. Cobalah tengok hadits arba’in yang ke-17. Di sana akan kita temukan sebuah perintah.

“Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan (ihsan) atas segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh (dalam peperangan), lakukanlah dengan baik. Jika kalian menyembelih, maka lakukanlah dengan baik, hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (HR. Muslim)

Oh, iya, Sal! Tolong di awal bulan nanti, ingatkan aku untuk menyisihkan gaji bulananku untuk membeli kambing untuk disembelih di hari raya idul adha. Dua ekor. Satu untukku. Satu lagi untukmu. Kupikir kita mampu melakukannya. Sebab beberapa bulan lalu, kita baru saja membeli gadget dengan harga yang lebih mahal dari harga seekor kambing kurban. Kamu setuju?

Sal, untuk hal yang satu ini pun, kita diperintahkan untuk mencari hewan kurban yang baik, yaitu hewan kurban yang sehat dan tidak cacat. Bukan hewan kurban yang pincang, buta sebelah, atau yang kurus.

Sal, ketika aku masih sendiri, aku meminta agar Allah memberikanku jodoh yang terbaik dalam setiap doaku. Kemudian Allah mempertemukanku dengan dirimu. Lalu kita menikah. Maka kuyakini bahwa dirimulah yang Allah jadikan sebagai jodoh yang terbaik untukku. Apakah kau melakukan dan meyakini hal yang sama, Sal?

Tak usah kau jawab jika kau malu. Rona di wajahmu telah memberikan jawabnya untukku.

Namun demikian, rasanya tak cukup jika aku menjadi yang terbaik untukmu dan kamu menjadi yang terbaik untukku di saat kita dipertemukan. Seharusnya, kita bisa menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik. Aku dan dirimu yang telah menikah harus lebih baik jika dibandingkan dengan aku dan dirimu sebelum menikah. Bukankah yang utuh itu lebih baik daripada yang separuh? Bukankah yang penuh itu lebih baik daripada yang setengah?

Sal, jikalah kondisimu di saat kita bertemu jauh lebih baik dari diriku dengan pengetahuan yang engkau miliki, maka ketika kita bersama diriku adalah ladang amal bagimu. Kau akan membimbingku untuk senantiasa memperbaiki diri dengan berbagi apa yang kau ketahui. Tanpa bosan. Tanpa jemu.

Kau selalu mengingatkanku agar selalu sholat berjama’ah, membetulkan kesalahan bacaanku ketika tilawah, dan menemaniku dalam bermuraja’ah agar hafalanku tidak berkurang apalagi punah.

Kau akan selalu mengingatkanku agar tidak bermalas diri dalam beramal dan beribadah tuk merengkuh ridho Ilahi. Di sepertiga malam terakhirmu, kau bangunkan aku yang sedang berselimut mimpi. Kau percikkan air ke wajahku agar segera bangkit dan berdiri tuk tahajjud dan berserah diri.

Kalaupun sebaliknya, ketika kita bertemu, kondisiku lebih baik daripada dirimu, maka dirimu akan menjadi ladang amal bagiku. Akulah yang akan melakukan hal-hal yang kusebutkan tadi untukmu, Sal.

Jikalah kondisi kita sama-sama memiliki banyak kekurangan, maka kita akan berjalan beriringan. Kau menjadi api semangatku, pun sebaliknya. Kita saling mendukung dalam menimba pengetahuan, datang bersama ke majlis ilmu, membaca buku, ataupun bertanya kepada seorang guru yang lebih tahu.

Yang demikian itu terjadi karena yang utuh itu lebih baik daripada yang separuh, karena yang penuh itu lebih baik daripada yang setengah. Maka kau adalah yang terbaik untukku. Aku adalah yang terbaik untukmu. Ketika kita bersama, kita menjadi lebih baik.


Tulisan Samara Lainnya :